FAKTOR PENYEBAB RENDAHNYA MINAT BACA MASYARAKAT INDONESIA


Membaca adalah kegiatan yang memiliki peran penting dan penuh manfaat yang melibatkan mata dan otak. Ketika membaca, kita telah melatih mata untuk focus terhadap detail dari penulisan kata, kalimat maupun frasa. Sedangkan otak dilatih untuk memahami isi, maksud dan konteks dari tulisan.

Aktivitas membaca tidak hanya memberikan hiburan, tetapi juga menjadi jendela pengetahuan dan pemahaman. Membaca membantu kita memperluas wawasan, mengembangkan keterampilan berpikir kritis, dan meningkatkan kemampuan berkomunikasi. 

Melalui membaca, kita dapat mempelajari berbagai topik, mengalami perspektif baru, dan menjelajahi dunia tanpa batas.

Sayangnya minat baca masyarakat Indonesia sangat rendah dan memprihatinkan. Dan berikut beberapa data yang menerangkan betapa rendahnya tingkat membaca negara kita tercinta ini, antara lain:
  • Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001%. Yang berarti, dari 1.000 orang Indonesia, hanya 1 orang yang gemar membaca.
  • Riset dari Central Connecticut State Univesity pada tahun 2016 tentang World’s Most Literate Nations Ranked menyatakan bahwa Indonesia menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Padahal, jika kita melihat data dari segi infrastuktur pendukung membaca, menampilkan peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa.
  • Survei Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020 menunjukkan bahwa hanya sekitar 10% penduduk Indonesia yang rajin membaca buku. Yakni, dari 1.000 masyarakat Indonesia, hanya 100 orang yang gemar membaca. Angka ini lebih tinggi dari data UNESCO, namun masih menunjukkan tingkat minat literasi yang rendah di kalangan masyarakat.

Lantas mengapa minat baca masyarakat Indonesia bisa begitu rendah? Berikut adalah factor penyebab yang berhasil dirangkum:

Dominasi Media Sosial

Pengaruh platform digital (Facebook, Tiktok, Instagram, Youtube) yang menawarkan visual menghibur serta informasi yang sangat instan, sehingga mengurangi ketertarikan masyarakat pada aktivitas membaca yang membutuhkan fokus lebih lama.

Tradisi Lisan yang Kuat

Indonesia adalah negara dengan penduduk yang ramah dan mudah bercengkrama, hal itu dibuktikan dalam survei terbaru Local Friendliness 2024 yang dilakukan oleh Lembaga InterNations. Jadi, Indonesia adalah negara yang kental akan budaya cerita lisan, obrolan langsung, atau mendongeng secara turun-temurun. 

Hal tersebut menjadi salah satu factor terkuat yang membuat masyarakat lebih memilih mencari informasi dengan mengandalkan komunikasi verbal daripada teks tertulis yang dianggap kurang praktis karena membutuhkan usaha yang lebih besar dibanding mendengar. 

Meskipun mendengar lebih praktis dari membaca, namun informasi secara lisan mudah hilang, berubah (dilebih-lebihkan atau dikurangi), dan tidak terdokumentasi.

Sistem Pendidikan

Fakta bahwa system Pendidikan Indonesia tidak dirancang untuk mencetak generasi gemar membaca, hal ini dibuktikan dengan Metode pengajaran yang lebih menekankan hafalan daripada pemahaman literasi. 

Meskipun kebijakan Gerakan Literasi Sekolah (GLS) dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sudah diberlakukan, namun kebijakan tersebut sering dianggap hanya sekedar formalitas, karena Guru lebih focus pada menyelesaikan materi kurikulum ketimbang menginspirasi siswa untuk mencintai buku. 

Dampaknya adalah guru tidak menjadi role model dalam membaca dan praktik membaca di sekolah menjadi sangat minim. Bisa dikatakan bahwa system Pendidikan Indonesia hingga saat ini masih terperangkap dalam paradigma “Sekolah = Tempat Ujian, bukan Tempat Belajar”.

Kurangnya Kebiasaan Membaca Sejak Dini

Banyak orang tua di Indonesia tidak menerapkan pembiasaan membaca kepada anak, hal ini dibuktikan dengan minimnya stimulasi di usia emas (0-5 tahun), dimana orang tua tidak pernah membacakan buku cerita/dongeng kepada anak dan lebih memilih memberikan gadget dengan tontonan youtube agar anak diam. 

Jika keluarga tidak merapkan pembiasaan membaca sejak usia dini, maka anak akan tumbuh tanpa ketertarikan pada buku dan terhambatnya kemampuan kognitif anak.

Kurangnya Akses dan Kualitas Bahan Bacaan

Meskipun perpustakaan sudah ada hampir di setiap sekolah namun para siswa masih kesulitan untuk mengaksesnya, dikarenakan banyak dari perpustakaan sekolah hanya beroperasi sesuai dengan jam Kegiatan Belajar dan Mengajar (KBM) di sekolah, lalu tutup saat jam istirahat dan pulang sekolah tiba. 

Padahal siswa hanya memiliki waktu untuk mengunjungi perpustakaan pada jam istirahat dan pulang sekolah, karena saat jam KBM berlangsung siswa tengah focus menyerap ilmu di kelas. 

Belum lagi Buku yang tersedia di perpustakaan sekolah mungkin kurang menarik, relevan, atau sesuai kebutuhan pembaca seperti terlalu akademis, desain kurang menarik dan kurangnya contoh visual pada isi buku. 

Ditambah mahalnya harga buku di pasaran sehingga membuat masyarakat enggan menggelontorkan uang untuk membeli buku, dan kesulitan mendapatkan bacaan berkualitas terutama di daerah terpencil.

Kurangnya Promosi Membaca

Kampanye literasi yang lemah jarang digaungkan, jarangnya tokoh panutan (selebritas, pemimpin) yang mendorong untuk membaca, dan minimnya acara/bookfest yang menarik minat publik.

Demikian adalah beberapa factor yang berhasil dirangkum mulai dari yang terkuat hingga yang terlemah.


Kesimpulan: 

Rendahnya minat baca ini sangat mempengaruhi kualitas bangsa Indonesia. Dengan rendahnya minat baca, kita tidak bisa mengetahui dan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan informasi di dunia, yang menyebabkan tertinggalnya bangsa Indonesia dari negara-negara lain.

Untuk meningkatkan minat baca bagi masyarakat Indonesia, pemerintah yang perlu memperhatikan fasilitas dan kemudahan akses bahan bacaan untuk masyarakat umum dan membuat system Pendidikan yang menarik, memadai dan meningkatkan minat baca pelajar di Indonesia.

Keluarga juga memiliki peran penting dalam menciptakan generasi yang sadar membaca, orang tua harus lebih peduli terhadap asupan otak anak dengan cara mengurangin penggunaan gadget dan diganti dengan kegiatan membaca buku.

Sekolah sebagai wadah terpenting dalam mencetak generasi penerus bangsa harus berfungsi sesuai dengan nama dan peruntukanya sebagai tempat belajar dan mengembangkan potensi anak. Dengan meningkatkan peran guru sebagai Role Model dalam membaca dan meningkatkan waktu bagi siswa untuk membaca di sekolah, maka tidak menutup kemungkinan di masa depan nanti generasi penerus bangsa akan memiliki kesadaran akan pentingnya membaca.*



Sumber:
Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran (2024). "Pengaruh Media Sosial Terhadap Rendahnya Minat Baca Siswa Man 1 Ternate"
Kalla Institute (2024). "Rendahnya Minat Literasi di Indonesia"
Kompas.com (2025). "400 Siswa SMP di Buleleng Bali Belum Bisa Baca, Dewan Pendidikan Buka Suara"
Deepublish (2025). "7 Penyebab Literasi Rendah di Indonesia"

Komentar